Rabu, 25 Agustus 2010

Mahasiswa sebagai Agent of Change and Modernizations

Oleh: Asep Koswara.,M.si

Makalah disampaikan pada acara "PROSPEK STIE AL-KHAERIYAH Citangkil Cilegon Juli 2010



Mahasiswa adalah manusia tercerahkan dengan segala potensinya, mahasiswa memiliki kesempatan dan ruang untuk berada dalam lingkungan akademis yang disebut kampus. Kampus sebagai wahana yang paling efektif untuk menciptkan kaum intelektual sejati. Dari sekian banyak kaum intelektual tersebut akan muncul beberapa bibit kaum intelektual yang aktif di berbagai kegiatan yang berlandaskan tri dharma perguruan tinggi. Mereka yang aktif tersebutlah yang pantas disebut aktivis intelektual. Seorang Aktivis Intelektual adalah seorang yang memiliki pengetahuan umum secara memadai sehingga mampu menemukan dan menganalisa setiap fenomena yang tengah berkembang di tengah masyarakat dan mampu memberikan solusi yang tepat dan bermanfaat.



Menjadi mahasiswa suatu kebanggaan sekaligus beban. Bagaimana tidak, ekspektasi dan tanggung jawab yang diemban oleh mahasiswa begitu besar. Oleh karenanya pada tulisan ini saya tidak tertarik membicarakan mahasiswa sebagai orang yang faham teknologi, atau faham ilmu-ilmu sosial, atau mahasiswa yang hanya belajar di perguruan tinggi. Namun pada konteks ini saya mengartikan mahasiswa sebagai orang yang memiliki kemampuan logis dalam berfikir dan memiliki peran sebagai "agent ofchange dan agent of modernization, ataua gen-agen yang lain. Yang dapat memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini. Oleh karenanya mahasiswa harus tetap memiliki sikap kritis, dengan mencoba menelusuri permasalahan sampai ke akar-akarnya. Dengan adanya sikap kritis dalam diri mahasiswa diharapkan akan timbul sikap korektif terhadap kondisi yang sedang berjalan. Pemikiran prospektif ke arah masa depan harus hinggap dalam pola pikir setiap mahasiswa.



Mengapa mesti "mahasiswa"?...Mahasiswa dipilih karena memiliki potensi yang besar sebagai agen perubahan. Mahasiswa sebagai segmen pemuda yang tercerahkan karena memiliki kemampuan intelektual yang tinggi,memiliki ideliasme dan memilki jiwa patriotisme. Artinya mahasiswa mempunyai tanggungjawab yang tinggi terkait dengan statusnya. Mahasiswa harus bisa berkontribusi dalam masyarakat dan mahasiswa harus bersikap tegas dan strategis dalam setiap langkahnya.



Ditengah perkembangan dunia pendidikan dewasa ini, kiranya harapan itu harus ditinjau ulang. Karena kenyataan sekarang banyak mahasiswa yang tidak lagi dapat bersikap seperti apa yang menjadi harapan masyarakat selama ini. Sebagian besar mahasiswa tidak dapat menjalankan fungsi yang selama ini diemban. Fungsi pembelajaran yang harusnya dapat ditransformasikan kepada masyarakat terkadang belum dapat dilaksanakan, hal ini disebabkan kualitas dari mahasiswa sendiri yang sekarang mulai menurun. Mahasiswa seharusnya dapat mentransformsikan sikap kritis dan kedewasaaannya dalam masyarakat mengingat salah satu poin tri dharma perguruan tinggi adalah pengabdian kepada masyarakat.



Mahasiswa sebagai pilar Demokrasi

Edward Shill memposisikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memliki tanggung jawab sosial yang khas. Shill menyebukan ada lima fungsi kaum intelektual yakni mencipta dan menyebar kebudayaan tinggi, menyediakan bagan-bagan nasional dan antar bangsa, membina keberdayaan danbersama, mempengaruhi perubahan sosial dan memainkan peran politik. Sedangkan Arbi Sanit memandang, mahasiswa cenderung terlibat dalam tiga fungsi terakhir.



Menurut Arbi Sanit (1981, hal.107-110) ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan mahasiswa dalam kehidupan politik. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horison yang luas diantara masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakatyang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di Universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.



Menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga keniscayaan yang harus dimiliki oleh mahasiwa, yaitu : moral, sosial dan intelektual. Yang pertama Dunia kampus merupakan dunia di mana setiap mahasiswa dengan bebas memilih kehidupan yang mereka inginkan. Disinilah dituntut suatu tanggung jawab moral terhadap diri masing-masing sebagai individu untuk dapat menjalankan kehidupan yang bertanggung jawab dan sesuai dengan moral yang hidup dalam masyarakat. Kedua adalah peranan sosial. Selain tanggung jawab individu, mahasiswa juga memiliki peranan social, yaitu bahwa keberadaan dan segala perbuatannya tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri tetapi juga harus membawa manfaat bagi lingkungan sekitarnya. Yang terakhir adalah peranan intelektual. Mahasiswa sebagai mahluk yang digadang-gadang sebagai insan intelek haruslah dapat mewujudkan status tersebut dalam ranah kehidupan nyata. Dalam arti menyadari betul bahwa fungsi dasar mahasiswa adalah bergelut dengan ilmu pengetahuan dan memberikan perubahan yang lebih baik dengan intelektualitas yang ia miliki.



Peran mahasiswa tersebut membawa tanggung jawab yang harus benar-benar dijaga. Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,biasanya mahasiswa menjadi ikon yang dalam kesadarannya berperan sebagai kontrol sosial. Mahasiswa menjadi titik awal pergerakan di dalam perubahan sosial. Hal ini pernah diungkapkan Hariman Siregar dalam pidatonya, bahwa"Perubahan-perubahan besar selalu diawali oleh kibaran bendera Universitas".



Sikap hidup mahasiswa sebagai oposisi ini lah yang di dalam kehidupan sebuah negara memainkan peran yang penting. Dapat sebagai kontrol sosial dan juga sebagai sumber perubahan apabila pemerintah melakukan tindakan yang represif dan merugikan bangsa dan negara. Dengan perannya, mahasiswa dapat melakukan kontrol sosial demi terwujudnya negara demokrasi secara bersih dan efisien.

Dalam kontek kedaerahan (lokal) mahasiswa perlu berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dengan semangat good governance. Meminjam pemikiran Friedman,2005) prasyarat untuk Mewujudkan "good governance" meliputi: (a) responsive,(b) participatory, (c) transparant; (d) equitable;dapat diakses oleh siapapun, dan kapan pun. (e) accountable; dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan sosio-kultural, (f) consensusoriented; mewujudkan kepentingan orang banyak (g) effective danefficient; pemanfaatan memanfaatkan sumber daya manusia dan alam yang ada secara optimal. Inilah bentuk demokrasi di tingkat lokal, sehingga pemerintahdaerah merupakan representasi sejati; dari dan untuk rakyat di daerah tersebut.



Akantetapi jika apa yang dijabarkan tidak sesuai dengan realitas, dan sebaliknya yang muncul kepermukaan adalah fakta-fakta penyelenggaraan otonomi daerah cenderung menjadi kanal-kanal kesuksesan kekuatan-kekuatan politik di daerah untuk membangun imperium kekuasaan, menciptakan "Raja-Raja Kecil". Atau selebihnya otonomi daerah menjadi wahana pertarungan kepentingan pribadi maupun kelompok yang memiliki kekuatan politik di masing-masing daerah. Aspirasi dan kepentingan masyarakat secara umum cenderung diabaikan. Semisal pertarungan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Pilkada merupakan fenomena konkret yang menggambarkan benturan-benturan kepentingan pribadi dan kelompok.Pelaksanaan pilkada yang sarat dengan konflik kepentingan menciptakan signifikansi pengaruh pada kehidupan sosial ekonomi yang tidak kecil. Apalagi jika penyelenggaraan "pesta demokrasi" tersebut tidak dijalankan secara sehat,yang berdampak terciptanya iklim yang kurang kondusif, mencekam, dan menghambat dinamika sosial-ekonomi di tingkat lokal.



"Maka posisi mahasiswa haruslah memelihara idealism, yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai: kebenaran (la verite),keadilan (la justice) dan pencerahan(la rasion).



Karena itu, mudah dipahami bahwa peran-peran idealisme mahasiswa itu akan tetap diakui, sepanjang mereka masih lantang menyuarakan cita-cita ideal bagi tatanansosial. Dalam konteks ini, idealism dimakanai sebagai proses jangka panjang mahasiswa dalam meretas dirinya secara kontinyu tanpa ada kepentingan yang sempit dan temporal. Apabila mahasiswa sudah tidak lagi mementingkan tertanamnya nilai-nilai ilmu pengetahuan, dan justru mengutamakan kepentingan pribadi maupun praksis lainnya, maka hal itu adalah bentuk pengkhianatan intelektual (latrahison des cleres).



Ke depan, diharapkan peranan mahasiswa dalam proses demokrasi lokal, mampu tampil sebagai organ bangsa yang memiliki kredibilitas dan kualitas mahasiswa yang bisa dibanggakan. Yaitu mahasiswa yang mampu memberikan kontribusi nyata kepada daerah untuk mewujudkan demokratisasi yang sesungguhnya. Mahasiswa yang memiliki sifat dinamis, kreatif, responsive dan peka terhadap problema-problema kemasyarakatan.



Berkaca pada gerakan mahasiswa 1998 lalu, setidaknya ada dua instrumen kekuatan mahasiswa yang bekerja secara efektif dan optimal selama proses tuntutan reformasi pada masa itu. Pertama, kekuatan massa (mass powers). Dalam kekuatan massa besar yang terorganisir, mahasiswa dapat bersatu untuk kepentingan bersama (yaitu; reformasi dan suksesi), juga oleh pijakan yang sama (yaitu; tanggungjawab moral-intelektual). Kedua, kekuatan lembaga (institusional powers), baik yang berada di dalam kampus maupun lembaga ekstra kampus, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Paling tidak, modus gerakan yang sama dapat digunakan mahasiswa di daerah untuk mengawal proses demokrasi lokal agar tidak keluar dari rambu-rambu reformasi.Wallahualam

Minggu, 08 Agustus 2010

Wow, 68 Persen Remaja Pernah Berhubungan Seks

08 Agustus 2010

Liputan6.com, Palangkaraya: Lebih dari setengah remaja di Indonesia pernah melakukan hubungan seks. "Bahkan hasil penelitan 2009 juga menyebutkan 87 persen kalangan remaja sudah pernah nonton film porno. Terutama sekali mereka yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung," kata Kepala Badan Keluarga Berencana Nasional Kalimantan Tengah Benny Benu di Palangkaraya, Ahad (8/8).

Menurut Benny, biasanya para remaja melakukan hubungan seks atau menonton film porno saat kedua orangtuanya tidak berada di rumah, karena kesibukan bekerja di kantor atau kegiatan lainnya. "Terjadinya hubungan seks maupun nonton film porno, salah satu faktor penyebabnya karena orangtua, lingkungan, guru tidak pernah memberikan pengetahuan aspek reproduksi sejak mereka menginjak remaja," ucapnya.

Pengetahuan aspek reproduksi itu merupakan hak anak yang harus diberikan. Namun pada kenyataannya hak itu selama ini justru dipenjarakan. Dan saatnya masalah ini para remaja menuntut hak tersebut. "Ratusan tahun hak anak untuk mengetahui aspek reproduksi disembunyikan orangtua, karena dianggap tabu. Bahkan dengan pertimbangan budaya ketimuran dikatakan tabu dibicarakan," tandasnya.

Dijelaskannya, beda dengan negara maju, pendidikan reproduksi pada anak remaja sudah diberikan semenjak anak memasuki usia remaja. Dan masalah seperti ini dari pandangan orangtua tidaklah tabu. "Untuk ke depannya hak anak untuk mengetahui aspek reproduksi sudah saatnya diberikan, sehingga mereka lebih tahu fungsi alat produksi. Dan tahu sebab akibat jika salah dalam mengartikannya," kata dia.(ANT/JUM)