oleh : Achmad Rozi El Eroy, SE.MM.
( Pembantu Ketua I STIE Al-Khairiyah )
Pendahuluan
Ketimpangan pembangunan yang terjadi di Indonesia secara makro dipengaruhi oleh adanya kesenjangan dalam alokasi sumber daya; sumberdaya manusia,, fisik, teknologi dan capital. Setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda didalam menghadapi isu ketimpangan pembangunan. Indonesia bagian barat menjadi primadona pembangunan ekonomi Indonesia sejak pemerintahan orde baru dimulai, terlebih sebelum era desentralisasi diterapkan di Indonesia. Sementara sebaliknya, untuk wilayah Indonesia Timur, banyak mengalami ketertinggalan diberbagai sector pembangunan.
Salah satu dampak sosial yang terjadi akibat kesenjangan atau ketimpangan pembangunan ekonomi dalah adanya kemiskinan diberbagai sektor. Kemiskinan menjadi problem kolektif bangsa Indonesia. Berbagai program dan strategi mengentaskan kemiskinan juga telah banyak dilakukan oleh pemerintah; mulai dari penguatan kualitas sumberdaya manusia, pembukaan lapangan pekerjaan, eksplorasi sumberdaya alam dan penyediaan program padat karya. Tulisan ini secara global akan memotret dua persoalan besar yang melanda dan menjadi problem bersama semua daerah.
Dalam sebuah negara pasti tidak akan terlepas dari aktivitas-aktivitas perekonomian. Aktivitas perekonomian ini terjadi dalam setiap bentuk aktivitas kehidupan dan terjadi pada semua kalangan masyarakat, baik masyarakat menengah ke bawah maupun pada masyarakat kalangan atas. Dalam pelaksanaannya, perekonomian selalu menimbulkan permasalahan. Terlebih lagi dalam pelaksanaannya di sebuah negara yang sedang berkembang. Begitu juga dengan Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Permasalahan perekonomian yang dihadapi bangsa ini sangat kompleks karena letak antara pulau satu dengan pulau yang lainnya sangat berjauhan.
Permasalahan ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia yang tetap terjadi hingga saat ini adalah terjadinya ketimpangan pembangunan perekonomian.. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah perekonomian pemerintah harus menyelesaikan permasalahan akarnya yaitu ketimpangan pembangunan dan perekonomian yang terjadi di wilayah Indonesia. Apabila permasalahan inti ini sudah terselesaikan atau paling tidak pembangunan perekonomian di Indonesia mulai terjadi pemerataan, maka permasalahan perekonomian lain yang timbul sebagai akibat dari ketimpangan pembangunan perekonomian akan terpecahkan satu per satu dari masalah yang terkecil.
Setiap pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah, setidaknya akan medapatkan apa yang namanya prestasi pembangunan, untuk mengetahui Prestasi pembangunan suatu negara atau daerah kita dapat menilainya dengan berbagai macam cara dan tolak ukur, baik dengan pendekatan ekonomi maupun dengan pendekatan non ekonomi. Penilaian dengan pendekatan ekonomi dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek non pendapatan. Tolak ukur pendapatan perkapita, sebagaimana kita sadari belum cukup untuk menilain prestasi pembangunan. Karena baru merupakan konsep rata-rata, pendapatan perkapita tidak mencerminkan bagaimana pendapatan suatu daerah terbagi dikalangan penduduknya, sehingga unsur kemerataan atau keadilan tidak terpantau. Distribusi pendapatan mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu daerah dikalangan penduduknya
Dalam kontek untuk mengukur dan menilai kemerataan (parah atau lunaknya ketimpangan) distribusi pendapatan, kita dapat melihatnya berdasarkan, pertama Kurva Lorenz dan Indek atau Rasio Gini. Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan dikalangan lapisan-lapisan penduduk secara kumulatif pula. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan presentase kumulatif pendapatan. Sedangkan sisi datarnya mewakili presentase kumulatif penduduk. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan yang semakin merata. Sebaliknya, jika Kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distibusi pendapatan semakin timpang dan tidak merata.
Sementara pada pendekatan Indek atau Rasio Gini, adalah suatu koefisien yang berkisar dari angka 0 hingga 1, menjelaskan kadar kemerataan (ketimpangan) distribusi pendapatan. Semakin kecil (semakin mendekati nol) koefisiennya, pertanda semakin baik atau merata distribusi. Dilain pihak, koefisien yang semakin besar (semakin mendakati 1) mengisyaratkan distribusi yang kian timpang atau senjang.
Sebab Ketimpangan Pembangunan
Menurut Sarjono HW (2006) pada kontek mikro, yang menjadi penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah pada umumnya, penyebabnya antara lain:
1. Keterbatasan informasi pasar dan informasi teknologi untuk pengembangan produk unggulan.
2. Belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di daerah.
3. Belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak kepada petani dan pelaku swasta.
4. Belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah.
5. Belum berkembangnya koordinasi, sinergitas, dan kerjasama,diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan petani, serta antara pusat, propinsi, dan kabupaten atau kota dalam upaya peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.
6. Masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran dalam upaya pengembangan peluang usaha dan kerjasama investasi.
7. Keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi di daerah dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah.
8. Belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antar daerah untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan
Sementara pada aspek makro, Dumairy (1996), menyatakan bahwa terdapat ada dua faktor yang layak dikemukakan untuk menerangkan mengapa ketimpangan pembangunan dan hasil-hasilnya dapat terjadi. Faktor pertama ialah karena ketidaksetaraan anugerah awal (initial endowment) diantara pelaku-pelaku ekonomi. Sedangkan faktor kedua karena strategi pembangunan yang tidak tepat_cenderung berorientasi pada pertumbuhan, (growth).
Ketidaksetaraan anugerah awal yang dimaksud adalah adanya kesenjangan antara bekal “resources” yang dimiliki oleh para pelaku ekonomi. Yang meliputi, sumberdaya alam, kapital, keahlian/keterampilan, bakat/potensi atau sarana dan prasarana. Sedangkan pelaku ekonomi adalah perorangan, sektor ekonomi, sektor wilayah/daerah/kawasan). Sumberdaya alam yang dimiliki tidak sama antar daerah, (pra)sarana ekonomi yang tersedia tidak sama antar daerah, begitu pula yang lain-lainnya seperti kapital, keahlian/keterampilan serta bakan atau potensi.
Kalau kita lihat secara objektif, ketimpangan pembangunan, yang selama ini berlangsung dan berwujud khsususnya pada Negara berkembang adalah dalam berbagai bentuk, aspek, atau dimensi. Bukan saja ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan perkapita, tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Bukan pula semata-mata berupa ketimpangan spasial atau antar daerah, yakni antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Akan tetapi juga berupa ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional. Ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional misalnya, dapat dilihat berdasarkan perbedaan mencolok dalam aspek-aspek seperti penyerapan tenaga kerja; alokasi dana perbankan; investasi dan pertumbuhan.
Secara makro ketimpangan pembangunan yang terjadi di diberbagai daerah, tentunya karena lebih disebabkan oleh aspek strategi pembangunan yang kurang tepat. Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan misalnya, ternyata tidak mampu mengatasi persoala-persoalan yang terjadi di daerah, malah sebaliknya hanya memperkaya pelaku-pelaku ekonomi tertentu yang dekat dan mudah mendapatkan akses pembangunan secara gratis.
Oleh karena itu, untuk dapat menghasilkan pembangunan ekonomi yang sebenar-benarnya dapat dirasakan oleh semua masyarakat, harus ada keberanian dari pemerintah daerah untuk mengubah cara pandang dan strategi pembangunan ekonominya kearah yang lebih sehat dan kompetitif. Kue-kue pembangunan harus dapat dinikmati dan dirasakan oleh semua masyarakat yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, jangan sampai kue pembangunan hanya milik segelintir kelompok atau golongan tertentu saja yang dekat dengan kekuasan dan mudah mendapatkan akses pembangunan secara gratis.
Memutus benang kusut kemiskinan
Masalah kemiskinan bukanlah masalah yang baru. Sejak bangsa Indonesia merdeka, menjadi cita-cita bangsa adalah mensejahterakan seluruh rakyat Karena kenyataan yang dihadapi adalah kemiskinan yang masih diderita oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Hampir setiap pemimpin di Indonesia, selalu menghadapi kenyataan ini, meskipun bentuk kemiskinan yang terjadi tidak sama di setiap era suatu pemerintahan.
Kemiskinan adalah problem sosial. Bagi kebanyakan orang, kemiskinan merupakan masalah yang cukup merisaukan. Ia dianggap sebagai penyakit sosial yang paling dahsyat dan menjadi musuh utama negara (Hairi Abdullah 1984:16). Kemiskinan bukan saja dilihat sebagai fenomena ekonomi semata-mata, tetapi juga sebagai masalah sosial dan politik (Syed Othman Alhabshi 1996). Karena dirasakan dahsyatnya bahaya kemiskinan, membasmi kemiskinan dianggap sebagai jihad (Anwar Ibrahim 1983/1984:25). Secara umum, kemiskinan mempunyai empat dimensi pokok, yaitu; kurangnya kesempatan (lack of opportunity); rendahnya kemampuan (low of capabilities); kurangnya jaminan (low-level of security); dan ketidakberdayaan (low of capacity or empowerment). Dan lazimnya kemiskinan diukur dengan garis kemiskinan (poverty line). Kemiskinan tidak saja mengakibatkan penyakit busung lapar (gizi buruk), atau juga penyakit sosial, seperti Penjaja Sex Komersial (PSK), gembel (pengemis) dan lain sebagainya, kemiskinan juga mengakibatkan turunnya harga diri individu atau kelompok masyarakat.
Secara psikologis orang miskin cenderung lebih sensitif, gampang tersinggung, kurang percaya diri bahkan gampang emosi, sehingga kondisi ini rawan dengan berbagai upaya pemanfaat pihak ketiga yang menggunakannya sebagai kendaraa/alat untuk memancing kerusuhan di sebuah daerah, intinya kemiskinan memiliki keterkaitan cukup erat dengan stabilitas politik dan ekonomi sebuah daerah.Karena merupakan masalah pembangunan yang multidimensi, maka pemecahan kemiskinan harus melalui strategis yang komperhensif, terpadu, terarah dan berkesinambungan
Konsep Kemiskinan
Dari berbagai literatur yang mengupas tentang konsep kemiskinan, paling tidak ada dua macam konsep kemiskinan yang dapat kita terima sebagai rujukan, yaitu; kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Konsep pertama kemiskinan absolut dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang kongkrit (a fixed yardstick). Ukuran itu lazimnya berorientasi kebutuhan hidup dasar minimum anggota masyarakat (sandang, pangan dan papan).
Masing-masing negara terlihat mempunyai batasan kemiskinan absolut yang berbeda-beda, sebab kebutuhan hidup dasar masyarakat yang dipergunakan sebagai acuan memang berlainan. Karena ukurannya dipastikan, maka konsep kemiskinan semacam itu mengenal garis batas kemiskinan. Kemiskiinan absolut juga dapat dilihat dari sejauhmana tingkat pendapatan penduduk miskin tersebut mampu mencukupi kebutuhan pokoknya (basic needs), yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Kemampuan untuk membeli kebutuhan pokok ini dieuivalenkan dengan daya belinya (nilai uang). Mereka yang tidak mampu membeli kebutuhan pokok tertentu sesuai standar minimal dianggap berada pada posisi dibawah garis kemiskinan.
Konsep yang kedua kemiskinan relatif dirumuskan berdasarkan the idea of relative standart, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu.
Dasar asumsinya adalah kemiskinan pada suatu daerah tertentu berbeda dengan pada daerah tertentu lainnya, dan kemiskinan pada waktu (saat) tertentu berbeda dengan waktu yang lain. Konsep kemiskinan relatif lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan in term of judgment anggota masyarakat tertentu, dengan berorientasi pada derajat kelayakan hidup. kemiskinan relatif dilihat berdasarkan persentase pendapatan yang diterima oleh pendapatan lapisan bawah. Mereka yang berada pada lapisan bawah dalam stratifikasi pendapatan nasional inilah yang dianggap miskin. (Edi Suandy Hamid 2000:14)
Stigma Kemiskinan
Sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim dipergunakan untuk mendekati masalah kemiskinan, yaitu; kemiskinan dalam perspektif kultural (the cultural perspective) dan kemiskinan dalam perspektif struktural atau situasional (the situasional perspective). Masing-masing perspektif tersebut memiliki tekanan, acuan dan metodologi tersendiri yang berbeda dalam menganlisa masalah kemiskinan. Perspektif kultural mendekati masalah kemiskinan pada tiga level analisis; individual, keluarga dan masyarakat. Pada level individual ditandai sifat yang lazim disebut a strong feeling of marginality, seperti; sikap parochial, sikap apatisme, fatalisme, atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior.
Pada level keluarga ditandai oleh jumlah anggota keluarga yang besar dan free union or consensual marriages. Kemudian pada level masyarakat, terutama ditandai oleh tidak terintegrasinya secera efektif dengan insitusi-institusi masyarakat. Mereka sering kali memperoleh perlakuan sebagai obyek yang perlu digarap daripada sebagai subyek yang perlu diberi peluang berkembang.
Kemudian perspektif struktural/situasional masalah kemiskinan sebagai dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan produk-produk teknologi modern. Penetrasi kapital antara lain mengejawantahkan dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan pertumbuhan (growth) dan kurang memperhatikan pemerataan hasil-hasil pembangunan (development).
Program-program tersebut antara lain berbentuk intensifikasi, ekstensifikasi dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan sebesar-besarnya guna memenuhi kebutuhan nasional dan eksport. Edi Suandy Hamid (2000:19) mengatakan bahwa masalah kemiskinan yang terjadi saat ini tidak bisa dilepaskan dari meningkatnya jumlah pengangguran. Pada masa krisis ekonomi ini, bukan saja laju pertambahan angkatan kerja baru tidak bisa diserap oleh pasar kerja, melainkan juga terjadi pemutusan hubungan kerja disektor formal yang berakibat bertambahnya angkatan kerja yang menganggur, baik itu yang menganggur penuh atau sama sekali tidak bekerja (open unemployment) maupun setengah menganggur atau bekerja dibawah jam kerja normal (under un employment).
Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Lantas, bagaimana menyelesaikan persoalan kemiskinan? strategi apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam memutus benang kusut kemiskinan diatas? Menurut penulis, ada dua agenda besar yang mesti dilakukan oleh para pengambil kebijakan, baik ditingkat lokal, maupun regional dalam program pengentasan kemiskinan yaitu, pertama; peningkatan kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) melalui pendidikan dan keterampilan; dan kedua pembangunan ketenagakerjaan melalui perluasan lapangan kerja dan serangkaian program pembangunan padat karya.
Program peningkatan kualitas sumberdaya manusia dilakukan melalui pengembangan budaya usaha masyarakat miskin, yaitu mengembangkan budaya usaha yang lebih maju, mengembangkan jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) dan meningkatkan keterampilan keluarga dan kelompok miskin untuk melakukan usaha ekonomi rakyat yang produktif atas dasar sikap demokratis dan mandiri. Program ketenagakerjaan dilakukan untuk menyediakan lapangan kerja dan lapangan usaha bagi setiap angkatan kerja sehingga dapat memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Formula yang dapat diterapkan adalah dengan membangun iklim investasi yang kondusif disemua tingkatan, baik lokal,regional maupun nasional. Sebagaimana yang kita pahami bahwa investasi sekecil apapun jika regulasi dan iklim investasi tidak kondusif dan rasional, maka jangan harap investasi akan datang. Maka solusinya menurut penulis adalah harus political will dari pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi se rasional mungkin.
Berangkat dari dua strategi memutus benang kusut kemiskinan diatas, ada baiknya mereka para tokoh-tokoh, baik lokal maupun nasional untuk tidak secara terbuka berdebat dan berdikusi mengenai kemiskinan, rakyat tidak butuh diskusi dan debat, yang mereka butuhkan adalah aksi nyata bagaiamana kemiskinan bisa diatasi, pengangguran dapat dikurangi dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Wallahu’alaum Bishowaff
Sabtu, 13 Juni 2009
Perda Transparansi, Siapa Takut?
oleh : Achmad Rozi El Eroy, SE.MM
(Pembantu Ketua I STIE Al-Khairiyah)
Dalam UU Pemerintahan Daerah No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi seluas-luasnya dalam system dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam ayat 5 dipertegas lagi bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Selanjutnya dalam pasal 22 disebutkan ada lima belas kewajiban yang wajib dilaksanakan oleh Daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah adalah; pertama melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, ketiga mengembangkan kehidupan demokrasi, keempat mewujudkan keadilan dan pemerataan; kelima meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; keenam menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan; ketujuh menyediakan fasilitas social dan fasilitas umum yang layak; kedelapan mengembangkan system jaminan sosial; kesembilan menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; kesepuluh mengembangkan sumberdaya produktif daerah; kesebelas, melestarikan lingkungan hidup; kedua belas, mengelol administrasi kependudukan; ketiga belas melestarikan nilai sosial budaya; keempat belas, membentuk dan menerapkan praturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan kelima beas adalah, kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pada pasal 27 disebutkan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai 11 (sebelas) kewajiban yang harus dilaksanakan, salah satunya pada ayat h, disebutkan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik. Menurut Soewarto Handoko (2206), pemerintahan adalah suatu Proses interaksi sosial – politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan dan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut. Dalam pengertian yang lebih luas, pemerintahan yang baik dan bersih adalah Proses interaksi pemerintah dan masyarakat yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan berlangsung secara efektif dan efisien
Reinventing Government
Osborne & Gaebler, (1992) menyatakan bahwa dalam rangka menuju good governance, terdapat 10 (sepuluh) prinsip dasar pengelolaan pemerintah yang baik dan bersih, yaitu; catalytic government, pemerintahan milik rakyat, pemerintahan yang kompetitif, pemerintahan yang dipacu oleh misi, pemerintahan yang berorientasi pada hasil, pemerintahan yang dipacu oleh pelanggan, pemerintahan yang berjiwa wirausaha, pemerintahan yang antisipatif, pemerintahan yang terdesentralisasi, dan pemerintah yang berorientasi pada pasar.
Sementara menurut UNDP--PBB (1997), terdapat tiga prinsip kepemerintahan yang baik disamping prinsip-prinsip lainnya, yaitu pertama; Partisipasi, yaitu Setiap warga negara berhak ikut dalam proses pengambilan keputusan (kebijakan) sesuai dengan aspirasi masing-masing, baik secara langsung, atau melalui lembaga perwakilan. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan ikut berperan dalam menghasilkan barang dan jasa publik, baik secara perorangan, kemitraan, atau kebersamaan, dan pemerintah bertanggungjawab untuk “memberdayakan” warga masyarakatnya, supaya mampu berpartisipasi secara konstruktif. Kedua; Adanya aturan hukum dan perundang-undangan yang berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh (impartially), terutana aturan hukum tentang HAM. Tegaknya hukum yang berkeadilan, harus dapat dirasakan masyarakat sebagai hak perlindungan atas keamanan dan keselamatan dirinya. Ketiga; Transparancy, yaitu Masyarakat memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi tentang proses pengambilan keputusan dan alasan logis pengambilan keputusan. Juga masyarakat mendapat kesempatan untuk mengetahui apa yang dikerjakan oleh organisasi publik dan untuk apa hal itu dilaksanakan.
Menurut John Piere dan B Guy Peters (2002:2 ) yang dikutip oleh Riant Nugroho (2004:223) fokus dari Pemerintahan yang baik dan bersih ( good governance) adalah; Akuntabilitas, yaitu bahwa Para pengambil keputusan yang menyangkut kepentingan publik (baik pihak Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat), harus siap secara terbuka mempertanggungjawabkan keputusannya kepada publik. Dan Pejabat publik tidak hanya bertanggungjawab kepada atasannya, tetapi juga kepada seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders). Transparansi, yaitu bahwa Masyarakat berhak mendapatkan informasi tentang proses dan alasan pengambilan keputusan. Fairness atau keadilan , yaitu Pemerintahan yang baik mampu mengatur pemberian kesempatan secara adil berdasarkan nilai-nilai yang berterima kepada masyarakat. Dan Responsivitas atau ketanggapan. Yaitu bahwa pemerintah harus peka dan tanggap terhadap keluhan dan aspirasi masyarakat.
serta pemerintah harus membuka diri untuk dikritik, dan membuka diri untuk memberi jawaban dan melakukan perbaikan, apabila perlu.
Perda Transparansi, siapa takut ?
Dalam rangka mewujudkan sistem pemerintahan yang aspiratif dan demokratis, dan sejalan dengan semangat otonomi daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, perlu dibangun dan kembangkan sarana yang efektif dan representatif yang mewadahi keterlibatan masyarakat dalam suatu proses pengambilan kebijakan pemerintahan daerah disemua tingkatan. Menurut penulis, sarana yang efektif dan reprensentatif tersebut yang saat ini dibutuhkan oleh masyarakat demi terjaminnya proses pelayanan publik yang maksimal adalah adanya dasar hokum bagi masyarakat dan aparatur pemerintah dalam bentuk sebuah peraturan (perda) yang mengatur masalah kepemrintahan.
Dalam pembicaraan mengenai good governance, salah satu soal mendasar yang harus diperbaiki adalah berkaitan dengan akuntabilitas. Menurut Andi S Muhtar, (2007) Setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dalam konteks akuntabilitas; yaitu penerapan akuntabilitas secara konsisten memerlukan penerapan prinsip transparansi dan independensi, penerapan prinsip kuntabilitas akan berkait langsung dengan kinerja pemerintahan dalam pelayanan public, dan akuntabilitas dapat menghubungkan antara kontrol serta memiliki kepentingan untuk saling memperkuat dan mengontrol.
Kehadiran perda transparansi dirasakan perlu untuk dijadikan sebagai media dalam mewujudkan dan mengimplementasikan nilai-nilai kepemerintahan yang baik dan bersih, dan yang lebih penting lagi dengan adanya perda transparansi tersebut, masyarakat memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi tentang proses pengambilan keputusan dan alasan logis pengambilan keputusan tersebut. Juga masyarakat mendapat kesempatan untuk mengetahui apa yang dikerjakan oleh organisasi publik dan untuk apa hal itu dilaksanakan.
Dalam realitas politik lokal, penulis melihat apa yang dilakukan oleh Pemda Kabupaten Lebak, seharusnya dapat dijadikan contoh bagi daerah-daerah lain di Banten khususnya. Kota Cilegon misalnya, disaat sebagian masyarakat dan fraksi di DPRD mendesak untuk segera dibentuk perda transparasi, seharusnya ini dilihat sebagai sebuah kemajuan dalam kerangka demokratisasi lokal, dimana dengan adanya perda transparansi akan memperkuat legitimasi pemerintah dimata masyarakat. Disamping itu dengan adanya perda transparansi akan menghadirkan suasana dan semangat baru dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih.
Kita tidak perlu takut dengan adanya perda transparansi, ketakutan yang berlebihan terhadap lahirnya perda transparansi setidaknya akan menimbulkan kecurigaan-kecurigaan dikalangan masyarakat, dan jika itu terjadi maka nilai dari penyelenggaraan kepemerintahan akan tereduksi dengan sendirinya. Menurut penulis ,sebaiknya pihak-pihak yang tidak setuju dengan adanya perda transparansi melakukan kajian lebih mendalam lagi tentang konsep-konsep penyelenggaraan kepemrintahan yang baik dan bersih. Ingat, salah satu tujuan dari good governance adalah meningkatkan akuntabilitas pemerintahan, sehingga dengan sendirinya akan mampu mencegah korupsi., dan good governance yang selama ini kita rasakan baru pada tataran slogan, belum pada tingkat action.
(Pembantu Ketua I STIE Al-Khairiyah)
Dalam UU Pemerintahan Daerah No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi seluas-luasnya dalam system dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam ayat 5 dipertegas lagi bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Selanjutnya dalam pasal 22 disebutkan ada lima belas kewajiban yang wajib dilaksanakan oleh Daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah adalah; pertama melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, ketiga mengembangkan kehidupan demokrasi, keempat mewujudkan keadilan dan pemerataan; kelima meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; keenam menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan; ketujuh menyediakan fasilitas social dan fasilitas umum yang layak; kedelapan mengembangkan system jaminan sosial; kesembilan menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; kesepuluh mengembangkan sumberdaya produktif daerah; kesebelas, melestarikan lingkungan hidup; kedua belas, mengelol administrasi kependudukan; ketiga belas melestarikan nilai sosial budaya; keempat belas, membentuk dan menerapkan praturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan kelima beas adalah, kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pada pasal 27 disebutkan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai 11 (sebelas) kewajiban yang harus dilaksanakan, salah satunya pada ayat h, disebutkan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik. Menurut Soewarto Handoko (2206), pemerintahan adalah suatu Proses interaksi sosial – politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan dan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut. Dalam pengertian yang lebih luas, pemerintahan yang baik dan bersih adalah Proses interaksi pemerintah dan masyarakat yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan berlangsung secara efektif dan efisien
Reinventing Government
Osborne & Gaebler, (1992) menyatakan bahwa dalam rangka menuju good governance, terdapat 10 (sepuluh) prinsip dasar pengelolaan pemerintah yang baik dan bersih, yaitu; catalytic government, pemerintahan milik rakyat, pemerintahan yang kompetitif, pemerintahan yang dipacu oleh misi, pemerintahan yang berorientasi pada hasil, pemerintahan yang dipacu oleh pelanggan, pemerintahan yang berjiwa wirausaha, pemerintahan yang antisipatif, pemerintahan yang terdesentralisasi, dan pemerintah yang berorientasi pada pasar.
Sementara menurut UNDP--PBB (1997), terdapat tiga prinsip kepemerintahan yang baik disamping prinsip-prinsip lainnya, yaitu pertama; Partisipasi, yaitu Setiap warga negara berhak ikut dalam proses pengambilan keputusan (kebijakan) sesuai dengan aspirasi masing-masing, baik secara langsung, atau melalui lembaga perwakilan. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan ikut berperan dalam menghasilkan barang dan jasa publik, baik secara perorangan, kemitraan, atau kebersamaan, dan pemerintah bertanggungjawab untuk “memberdayakan” warga masyarakatnya, supaya mampu berpartisipasi secara konstruktif. Kedua; Adanya aturan hukum dan perundang-undangan yang berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh (impartially), terutana aturan hukum tentang HAM. Tegaknya hukum yang berkeadilan, harus dapat dirasakan masyarakat sebagai hak perlindungan atas keamanan dan keselamatan dirinya. Ketiga; Transparancy, yaitu Masyarakat memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi tentang proses pengambilan keputusan dan alasan logis pengambilan keputusan. Juga masyarakat mendapat kesempatan untuk mengetahui apa yang dikerjakan oleh organisasi publik dan untuk apa hal itu dilaksanakan.
Menurut John Piere dan B Guy Peters (2002:2 ) yang dikutip oleh Riant Nugroho (2004:223) fokus dari Pemerintahan yang baik dan bersih ( good governance) adalah; Akuntabilitas, yaitu bahwa Para pengambil keputusan yang menyangkut kepentingan publik (baik pihak Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat), harus siap secara terbuka mempertanggungjawabkan keputusannya kepada publik. Dan Pejabat publik tidak hanya bertanggungjawab kepada atasannya, tetapi juga kepada seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders). Transparansi, yaitu bahwa Masyarakat berhak mendapatkan informasi tentang proses dan alasan pengambilan keputusan. Fairness atau keadilan , yaitu Pemerintahan yang baik mampu mengatur pemberian kesempatan secara adil berdasarkan nilai-nilai yang berterima kepada masyarakat. Dan Responsivitas atau ketanggapan. Yaitu bahwa pemerintah harus peka dan tanggap terhadap keluhan dan aspirasi masyarakat.
serta pemerintah harus membuka diri untuk dikritik, dan membuka diri untuk memberi jawaban dan melakukan perbaikan, apabila perlu.
Perda Transparansi, siapa takut ?
Dalam rangka mewujudkan sistem pemerintahan yang aspiratif dan demokratis, dan sejalan dengan semangat otonomi daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, perlu dibangun dan kembangkan sarana yang efektif dan representatif yang mewadahi keterlibatan masyarakat dalam suatu proses pengambilan kebijakan pemerintahan daerah disemua tingkatan. Menurut penulis, sarana yang efektif dan reprensentatif tersebut yang saat ini dibutuhkan oleh masyarakat demi terjaminnya proses pelayanan publik yang maksimal adalah adanya dasar hokum bagi masyarakat dan aparatur pemerintah dalam bentuk sebuah peraturan (perda) yang mengatur masalah kepemrintahan.
Dalam pembicaraan mengenai good governance, salah satu soal mendasar yang harus diperbaiki adalah berkaitan dengan akuntabilitas. Menurut Andi S Muhtar, (2007) Setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dalam konteks akuntabilitas; yaitu penerapan akuntabilitas secara konsisten memerlukan penerapan prinsip transparansi dan independensi, penerapan prinsip kuntabilitas akan berkait langsung dengan kinerja pemerintahan dalam pelayanan public, dan akuntabilitas dapat menghubungkan antara kontrol serta memiliki kepentingan untuk saling memperkuat dan mengontrol.
Kehadiran perda transparansi dirasakan perlu untuk dijadikan sebagai media dalam mewujudkan dan mengimplementasikan nilai-nilai kepemerintahan yang baik dan bersih, dan yang lebih penting lagi dengan adanya perda transparansi tersebut, masyarakat memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi tentang proses pengambilan keputusan dan alasan logis pengambilan keputusan tersebut. Juga masyarakat mendapat kesempatan untuk mengetahui apa yang dikerjakan oleh organisasi publik dan untuk apa hal itu dilaksanakan.
Dalam realitas politik lokal, penulis melihat apa yang dilakukan oleh Pemda Kabupaten Lebak, seharusnya dapat dijadikan contoh bagi daerah-daerah lain di Banten khususnya. Kota Cilegon misalnya, disaat sebagian masyarakat dan fraksi di DPRD mendesak untuk segera dibentuk perda transparasi, seharusnya ini dilihat sebagai sebuah kemajuan dalam kerangka demokratisasi lokal, dimana dengan adanya perda transparansi akan memperkuat legitimasi pemerintah dimata masyarakat. Disamping itu dengan adanya perda transparansi akan menghadirkan suasana dan semangat baru dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih.
Kita tidak perlu takut dengan adanya perda transparansi, ketakutan yang berlebihan terhadap lahirnya perda transparansi setidaknya akan menimbulkan kecurigaan-kecurigaan dikalangan masyarakat, dan jika itu terjadi maka nilai dari penyelenggaraan kepemerintahan akan tereduksi dengan sendirinya. Menurut penulis ,sebaiknya pihak-pihak yang tidak setuju dengan adanya perda transparansi melakukan kajian lebih mendalam lagi tentang konsep-konsep penyelenggaraan kepemrintahan yang baik dan bersih. Ingat, salah satu tujuan dari good governance adalah meningkatkan akuntabilitas pemerintahan, sehingga dengan sendirinya akan mampu mencegah korupsi., dan good governance yang selama ini kita rasakan baru pada tataran slogan, belum pada tingkat action.
Langganan:
Postingan (Atom)