Senin, 06 September 2010

Diskriminasi dalam Talent Management

Oleh; Yodhia Antariksa, M.Sc

Perbincangan mengenai pengembangan mutu SDM kini tengah disemarakkan dengan gagasan mengenai talent management. Esensi dasar dari gagasan ini adalah bagiamana sebuah organisasi mesti mampu secara konstan merekrut, mengembangkan, dan kemudian mempertahankan barisan SDM yang bertalenta tinggi serta berkinerja unggul.

Barisan SDM dengan talenta unggul yang menduduki strategic positions pada akhirnya memang merupakan life blood dari sebuah organisasi bisnis. Disini kita mungkin perlu menyimak sebuah ungkapan dari paman Bill Gates. Begini ia pernah berujar : silakan ambil 25 eksekutif kunci dengan talenta unggul dari perusahaan kami, dan dalam waktu tak berapa lama Microsoft akan langsung roboh.

Pertanyaanya kini adalah : lalu strategi terbaik apa yang mesti dilakoni untuk mampu mengembangkan talent management secara kokoh? Dalam kaitannya dengan hal ini, saya mencoba memetakan dua catatan filosofis yang layak digenggam manakala kita hendak merajut strategi talent management secara optimal.

Catatan yang pertama adalah ini : serangkaian studi empirik menunjukkan bahwa kehebatan sebuah organisasi bisnis sangat ditentukan oleh hanya 30 % karyawannya, terutama mereka yang menduduki posisi strategic/core positions. Ilustrasinya sederhana : bagi sebuah warung makan, posisi seorang koki adalah posisi yang amat vital; dan bukan kasir atau pramusaji atau bagian purchasing. Demikian pula bagi Microsoft, posisi yang amat penting adalah barisan programmer, bukan mereka yang duduk di bagian finansial, warehouse, ataupun bagian customer service.

Implikasinya jelas : untuk mereka yang menduduki posisi core, maka kita harus mati-matian mendapatkan talenta kelas dunia. Namun bagi mereka yang tidak menduduki posisi core, kita cukup mendapatkan pekerja yang standard saja, tidak perlu bagus-bagus amat. Alasannya sederhana : seorang pramusaji dengan talenta kelas dunia tak akan memberikan impak yang signifikan bagi kemajuan sebuah rumah makan. Demikian juga, seorang finance manager yang super sekalipun tidak akan memberikan dampak yang berarti bagi maju mundurnya Micorosft. Karena itulah, untuk posisi-posisi non-core ini kita cukup memelihara karyawan yang memenuhi standard kualifikasi saja – tidak perlu berambisi merekrut yang terbaik. Sebab efek diferensiasi dari posisi-posisi non core terhadap level kinerja perusahaan tidak banyak.

Sebaliknya, untuk mereka yang menduduki posisi core atau strategis, maka kita mesti bertarung mati-matian untuk mendapatkan talenta super. Sebab dalam posisi ini, perbedaan kinerja antara level standar dengan level superior akan memberikan dampak yang sangat signifikan bagi kemajuan perusahaan. Seorang koki dengan kualifikasi standar mungkin akan membuat rumah makan kita bisa terus eksis, namun kalau kita bisa merebut koki dengan kualifikasi kelas dunia, pasti rumah makan kita akan kebanjiran pelanggan.

Fakta diatas membawa kita kepada catatan penting kedua : perusahaan mesti mengalokasikan sumber daya waktu dan energi yang lebih besar (mungkin hingga 80%) untuk mengelola dan memelihara mereka yang duduk dalam posisi kunci (strategic positions); dan sisanya untuk mengelola para non-core employees. Nah, disinilah suka muncul masalah. Sering dengan alasan pemerataan, sebuah perusahaan memperlakukan semua karyawan dengan prioritas yang sama : semua mendapatkan porsi pelatihan yang sama, besaran bonus yang sama, dan kenaikan gaji yang sama.

Gaya manajemen a la sosialisme itu kelihatannya indah, namun dalam jangka panjang tidak akan pernah mampu membawa kita menuju kinerja puncak (gaya seperti ini mungkin lebih cocok untuk negeri Uni Soviet pada tahun 70-an dulu). Sebaliknya, kita mesti mengalokasikan sumber daya yang berbeda antara karyawan core dan non-core. Untuk karyawan non core kita cukup mengalokasikan sumber daya pengembangan yang standard saja (ya, secukupnya sajalah….). Namun untuk core employees yang bersifat strategis, kita mesti mengalokasikan sumber daya habis-habisan untuk memelihara dan mengembangkan talenta terbaik mereka.

Dengan pendekatan semacam itu, kita tidak perlu lagi repot atau terlalu ambisius untuk mengembangkan semua karyawan (dan ini sering membikin kita selalu kehabisan energi). Kita cukup memfokuskan energi terbesar kita pada karyawan yang menduduki posisi kunci dan bersifat strategis (dan acapkali jumlah karyawan golongan ini tidak lebih dari 30% jumlah total karyawan). Talenta-talenta karyawan di golongan inilah yang mesti kita hajar habis-habisan. Dengan pola ini, kita bisa lebih fokus, lebih bisa menghemat energi, dan yang paling penting : bisa meraih hasil yang jauh lebih produktif.

Demikianlah, dua filosofi kunci yang mesti selalu dikenang tatkala kita hendak membangun sebuah sistem talent management yang unggul. Sebuah filosofi yang berangkat dari keyakinan bahwa : not everyone of us is equal. Sorry, kedengarannya ini agak diskriminatif, but this is a fact of life. Accept this, or you will be left behind the dust.

Rabu, 25 Agustus 2010

Mahasiswa sebagai Agent of Change and Modernizations

Oleh: Asep Koswara.,M.si

Makalah disampaikan pada acara "PROSPEK STIE AL-KHAERIYAH Citangkil Cilegon Juli 2010



Mahasiswa adalah manusia tercerahkan dengan segala potensinya, mahasiswa memiliki kesempatan dan ruang untuk berada dalam lingkungan akademis yang disebut kampus. Kampus sebagai wahana yang paling efektif untuk menciptkan kaum intelektual sejati. Dari sekian banyak kaum intelektual tersebut akan muncul beberapa bibit kaum intelektual yang aktif di berbagai kegiatan yang berlandaskan tri dharma perguruan tinggi. Mereka yang aktif tersebutlah yang pantas disebut aktivis intelektual. Seorang Aktivis Intelektual adalah seorang yang memiliki pengetahuan umum secara memadai sehingga mampu menemukan dan menganalisa setiap fenomena yang tengah berkembang di tengah masyarakat dan mampu memberikan solusi yang tepat dan bermanfaat.



Menjadi mahasiswa suatu kebanggaan sekaligus beban. Bagaimana tidak, ekspektasi dan tanggung jawab yang diemban oleh mahasiswa begitu besar. Oleh karenanya pada tulisan ini saya tidak tertarik membicarakan mahasiswa sebagai orang yang faham teknologi, atau faham ilmu-ilmu sosial, atau mahasiswa yang hanya belajar di perguruan tinggi. Namun pada konteks ini saya mengartikan mahasiswa sebagai orang yang memiliki kemampuan logis dalam berfikir dan memiliki peran sebagai "agent ofchange dan agent of modernization, ataua gen-agen yang lain. Yang dapat memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini. Oleh karenanya mahasiswa harus tetap memiliki sikap kritis, dengan mencoba menelusuri permasalahan sampai ke akar-akarnya. Dengan adanya sikap kritis dalam diri mahasiswa diharapkan akan timbul sikap korektif terhadap kondisi yang sedang berjalan. Pemikiran prospektif ke arah masa depan harus hinggap dalam pola pikir setiap mahasiswa.



Mengapa mesti "mahasiswa"?...Mahasiswa dipilih karena memiliki potensi yang besar sebagai agen perubahan. Mahasiswa sebagai segmen pemuda yang tercerahkan karena memiliki kemampuan intelektual yang tinggi,memiliki ideliasme dan memilki jiwa patriotisme. Artinya mahasiswa mempunyai tanggungjawab yang tinggi terkait dengan statusnya. Mahasiswa harus bisa berkontribusi dalam masyarakat dan mahasiswa harus bersikap tegas dan strategis dalam setiap langkahnya.



Ditengah perkembangan dunia pendidikan dewasa ini, kiranya harapan itu harus ditinjau ulang. Karena kenyataan sekarang banyak mahasiswa yang tidak lagi dapat bersikap seperti apa yang menjadi harapan masyarakat selama ini. Sebagian besar mahasiswa tidak dapat menjalankan fungsi yang selama ini diemban. Fungsi pembelajaran yang harusnya dapat ditransformasikan kepada masyarakat terkadang belum dapat dilaksanakan, hal ini disebabkan kualitas dari mahasiswa sendiri yang sekarang mulai menurun. Mahasiswa seharusnya dapat mentransformsikan sikap kritis dan kedewasaaannya dalam masyarakat mengingat salah satu poin tri dharma perguruan tinggi adalah pengabdian kepada masyarakat.



Mahasiswa sebagai pilar Demokrasi

Edward Shill memposisikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memliki tanggung jawab sosial yang khas. Shill menyebukan ada lima fungsi kaum intelektual yakni mencipta dan menyebar kebudayaan tinggi, menyediakan bagan-bagan nasional dan antar bangsa, membina keberdayaan danbersama, mempengaruhi perubahan sosial dan memainkan peran politik. Sedangkan Arbi Sanit memandang, mahasiswa cenderung terlibat dalam tiga fungsi terakhir.



Menurut Arbi Sanit (1981, hal.107-110) ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan mahasiswa dalam kehidupan politik. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horison yang luas diantara masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakatyang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di Universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.



Menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga keniscayaan yang harus dimiliki oleh mahasiwa, yaitu : moral, sosial dan intelektual. Yang pertama Dunia kampus merupakan dunia di mana setiap mahasiswa dengan bebas memilih kehidupan yang mereka inginkan. Disinilah dituntut suatu tanggung jawab moral terhadap diri masing-masing sebagai individu untuk dapat menjalankan kehidupan yang bertanggung jawab dan sesuai dengan moral yang hidup dalam masyarakat. Kedua adalah peranan sosial. Selain tanggung jawab individu, mahasiswa juga memiliki peranan social, yaitu bahwa keberadaan dan segala perbuatannya tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri tetapi juga harus membawa manfaat bagi lingkungan sekitarnya. Yang terakhir adalah peranan intelektual. Mahasiswa sebagai mahluk yang digadang-gadang sebagai insan intelek haruslah dapat mewujudkan status tersebut dalam ranah kehidupan nyata. Dalam arti menyadari betul bahwa fungsi dasar mahasiswa adalah bergelut dengan ilmu pengetahuan dan memberikan perubahan yang lebih baik dengan intelektualitas yang ia miliki.



Peran mahasiswa tersebut membawa tanggung jawab yang harus benar-benar dijaga. Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,biasanya mahasiswa menjadi ikon yang dalam kesadarannya berperan sebagai kontrol sosial. Mahasiswa menjadi titik awal pergerakan di dalam perubahan sosial. Hal ini pernah diungkapkan Hariman Siregar dalam pidatonya, bahwa"Perubahan-perubahan besar selalu diawali oleh kibaran bendera Universitas".



Sikap hidup mahasiswa sebagai oposisi ini lah yang di dalam kehidupan sebuah negara memainkan peran yang penting. Dapat sebagai kontrol sosial dan juga sebagai sumber perubahan apabila pemerintah melakukan tindakan yang represif dan merugikan bangsa dan negara. Dengan perannya, mahasiswa dapat melakukan kontrol sosial demi terwujudnya negara demokrasi secara bersih dan efisien.

Dalam kontek kedaerahan (lokal) mahasiswa perlu berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dengan semangat good governance. Meminjam pemikiran Friedman,2005) prasyarat untuk Mewujudkan "good governance" meliputi: (a) responsive,(b) participatory, (c) transparant; (d) equitable;dapat diakses oleh siapapun, dan kapan pun. (e) accountable; dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan sosio-kultural, (f) consensusoriented; mewujudkan kepentingan orang banyak (g) effective danefficient; pemanfaatan memanfaatkan sumber daya manusia dan alam yang ada secara optimal. Inilah bentuk demokrasi di tingkat lokal, sehingga pemerintahdaerah merupakan representasi sejati; dari dan untuk rakyat di daerah tersebut.



Akantetapi jika apa yang dijabarkan tidak sesuai dengan realitas, dan sebaliknya yang muncul kepermukaan adalah fakta-fakta penyelenggaraan otonomi daerah cenderung menjadi kanal-kanal kesuksesan kekuatan-kekuatan politik di daerah untuk membangun imperium kekuasaan, menciptakan "Raja-Raja Kecil". Atau selebihnya otonomi daerah menjadi wahana pertarungan kepentingan pribadi maupun kelompok yang memiliki kekuatan politik di masing-masing daerah. Aspirasi dan kepentingan masyarakat secara umum cenderung diabaikan. Semisal pertarungan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Pilkada merupakan fenomena konkret yang menggambarkan benturan-benturan kepentingan pribadi dan kelompok.Pelaksanaan pilkada yang sarat dengan konflik kepentingan menciptakan signifikansi pengaruh pada kehidupan sosial ekonomi yang tidak kecil. Apalagi jika penyelenggaraan "pesta demokrasi" tersebut tidak dijalankan secara sehat,yang berdampak terciptanya iklim yang kurang kondusif, mencekam, dan menghambat dinamika sosial-ekonomi di tingkat lokal.



"Maka posisi mahasiswa haruslah memelihara idealism, yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai: kebenaran (la verite),keadilan (la justice) dan pencerahan(la rasion).



Karena itu, mudah dipahami bahwa peran-peran idealisme mahasiswa itu akan tetap diakui, sepanjang mereka masih lantang menyuarakan cita-cita ideal bagi tatanansosial. Dalam konteks ini, idealism dimakanai sebagai proses jangka panjang mahasiswa dalam meretas dirinya secara kontinyu tanpa ada kepentingan yang sempit dan temporal. Apabila mahasiswa sudah tidak lagi mementingkan tertanamnya nilai-nilai ilmu pengetahuan, dan justru mengutamakan kepentingan pribadi maupun praksis lainnya, maka hal itu adalah bentuk pengkhianatan intelektual (latrahison des cleres).



Ke depan, diharapkan peranan mahasiswa dalam proses demokrasi lokal, mampu tampil sebagai organ bangsa yang memiliki kredibilitas dan kualitas mahasiswa yang bisa dibanggakan. Yaitu mahasiswa yang mampu memberikan kontribusi nyata kepada daerah untuk mewujudkan demokratisasi yang sesungguhnya. Mahasiswa yang memiliki sifat dinamis, kreatif, responsive dan peka terhadap problema-problema kemasyarakatan.



Berkaca pada gerakan mahasiswa 1998 lalu, setidaknya ada dua instrumen kekuatan mahasiswa yang bekerja secara efektif dan optimal selama proses tuntutan reformasi pada masa itu. Pertama, kekuatan massa (mass powers). Dalam kekuatan massa besar yang terorganisir, mahasiswa dapat bersatu untuk kepentingan bersama (yaitu; reformasi dan suksesi), juga oleh pijakan yang sama (yaitu; tanggungjawab moral-intelektual). Kedua, kekuatan lembaga (institusional powers), baik yang berada di dalam kampus maupun lembaga ekstra kampus, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Paling tidak, modus gerakan yang sama dapat digunakan mahasiswa di daerah untuk mengawal proses demokrasi lokal agar tidak keluar dari rambu-rambu reformasi.Wallahualam

Minggu, 08 Agustus 2010

Wow, 68 Persen Remaja Pernah Berhubungan Seks

08 Agustus 2010

Liputan6.com, Palangkaraya: Lebih dari setengah remaja di Indonesia pernah melakukan hubungan seks. "Bahkan hasil penelitan 2009 juga menyebutkan 87 persen kalangan remaja sudah pernah nonton film porno. Terutama sekali mereka yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung," kata Kepala Badan Keluarga Berencana Nasional Kalimantan Tengah Benny Benu di Palangkaraya, Ahad (8/8).

Menurut Benny, biasanya para remaja melakukan hubungan seks atau menonton film porno saat kedua orangtuanya tidak berada di rumah, karena kesibukan bekerja di kantor atau kegiatan lainnya. "Terjadinya hubungan seks maupun nonton film porno, salah satu faktor penyebabnya karena orangtua, lingkungan, guru tidak pernah memberikan pengetahuan aspek reproduksi sejak mereka menginjak remaja," ucapnya.

Pengetahuan aspek reproduksi itu merupakan hak anak yang harus diberikan. Namun pada kenyataannya hak itu selama ini justru dipenjarakan. Dan saatnya masalah ini para remaja menuntut hak tersebut. "Ratusan tahun hak anak untuk mengetahui aspek reproduksi disembunyikan orangtua, karena dianggap tabu. Bahkan dengan pertimbangan budaya ketimuran dikatakan tabu dibicarakan," tandasnya.

Dijelaskannya, beda dengan negara maju, pendidikan reproduksi pada anak remaja sudah diberikan semenjak anak memasuki usia remaja. Dan masalah seperti ini dari pandangan orangtua tidaklah tabu. "Untuk ke depannya hak anak untuk mengetahui aspek reproduksi sudah saatnya diberikan, sehingga mereka lebih tahu fungsi alat produksi. Dan tahu sebab akibat jika salah dalam mengartikannya," kata dia.(ANT/JUM)

Senin, 19 April 2010

Mahasiswa STIE Al-Khairiyah terpilih menjadi Duta Wisata Kota Cilegon 2010

Cilegon, 17 April 2010

CILEGON - Dian Mayang Sari menitikkan air mata. Haru bahagia terpancar saat putri ketiga seorang staf Kantor Desa Leuwi Limus, Kecamatan Cikande, Kabupaten Serang, ini memenangkan Grand Final Duta Wisata Cilegon di Hotel Permata Cilegon, Sabtu (17/4).

Mayang akan memasuki dunia baru setelah wanita kelahiran 1991 ini resmi menjadi ikon wisata Cilegon 2010. Akhir perjuangan ke-20 finalis Duta Wisata Cilegon pun berakhir indah untuk Teguh Rachmawan dan Dian Mayang Sari. Mereka terpilih sebagai juara I Grand Final Duta Wisata. Sementara juara kedua dimenangkan Aji Rizky Hakim dan Farah Meivina. Sementara juara ketiga diraih Angga Dwi Putra dan Irmayati. Mereka mengalahkan 14 finalis lainnya yang juga telah menunjukkan performen secara maksimal malam itu.Isak tangispun mendera di pipi Mayang saat mahkota juara, yang sebelumnya dipasang di kepala Anne Karina Sekar, sebagai juara Duta Wisata 2009, dikenakan di kepala Mayang.

Joja, ibunda Mayang, tampak tak habis-habisnya tersenyum bahagia, begitu juga ayah Mayang, Sarpan. Dari bawah panggung mereka terus menatap anaknya dengan isak tangis bahagia, suasana inipun sempat membuat haru ruangan tersebut.
Syihabudin Sidik, juri bidang pemerintahan dan pariwisata mengatakan, hasil kemenangan ketiga pasangan malam itu merupakan hasil penilaian akumulasi. Selain Syihabudin, juri lainnya adalah Dadi Ruswandi (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten), Ahmad Yani (staf ahli walikota), Kusnadi Wijaya (Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Cilegon), Kurdianti dari Yayasan Argandia. “Hasil ini tidak bisa diganggu gugat.

Dian Mayang Sari dan Teguh Rachmawan yang saat ini merupakan mahasiswa STIE Al-Khairiyah Cilegon semester II berhak menyandang juara I Grand Final. Kami menilai, dua remaja ini memiliki kegagahan dan kecantikan rupa, yang disertai talenta yang tinggi. Kami pikir mereka bisa menjadi ikon wisata Cilegon 2010 ini,” imbuh Syihabudin, “Meskipun pengetahuan tentang pariwisata mereka masih harus diasah lagi.” (sumber; radar banten)

Peserta Dosen Magang Angkatan V di Universitas Padjadjaran Bandung


Peserta Dosen Magang Angkatan V (dari kiri; Antonius ( Surabaya ), Lidya Suhana (Bukit tinggi-Padang ) Endang Suciati (Jombang), Dhita ( Surabaya ), Yudea ( Balikpapan-Kaltim), Evie (Surabaya), Levi (Blitar ) Rozi El Eroy (Cilegon-Banten), Ethic P ( Jogjakarta ) Molly (Bukit Tinggi -Padang) Irma ( Lombok)

Kamis, 15 April 2010

STIE Al-Khairiyah mengirimkan Dosen Magang Ke UNPAD Bandung


12 April 2010

Achmad Rozi El Eroy, SE., MM. salah seorang dosen STIE Al-Khairiyah yang juga merangkap sebagai Pembantu Ketua III diutus oleh ketua STIE Al-Khairiyah untuk mngikuti program pemagangan dosen di Universitas padjadjaran (Unpad) bandung selama 5 (lima) bulan. terhitung sejak April s/d Agustus 2010. adapun mengenai profil program dosen magang, berikut ini term of reference yang berhasil dihimpun oleh pihak sekolah Tinggi.


I. LATAR BELAKANG

a. Dasar Hukum

Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dalam pasal 51 ayat 1 huruf d menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, dosen berhak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses ke sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

b. Gambaran Hukum

Perguruan tinggi memiliki peran yang sangat strategis dalam mempersiapkan sumber daya manusia melalui pendidikan tinggi. Dalam prosesnya, kualitas tenaga dosen merupakan titik sentral yang akan sangat menentukan tinggi-rendahnya kualitas lulusan perguruan tinggi. Undang-Undang Guru dan Dosen menyatakan bahwa dosen perguruan tinggi haruslah memiliki kemampuan akademik satu tingkat dari program pendidikan mahasiswa yang diajarkannya, juga mengharuskan agar setiap dosen memiliki sertifikat profesi. Pada kenyataannya, di Indonesia, proses perekrutan dosen umumnya dari lulusan S1 yang memiliki kemampuan yang sangat minim sebagai tenaga dosen, baik dari segi akademiknya maupun dari kemampuan profesionalnya.

Dosen, adalah SDM perguruan tinggi yang memiliki peran yang sangat sentral dalam semua aktivitas di perguruan tinggi. Dalam era globalisasi ini, seorang dosen bukan hanya dituntut pakar dalam bidang kajian ilmunya (mengajarkan, meneliti, dan mengabdikannya kepada masyarakat) tetapi juga dituntut untuk mampu berkomunikasi (verbal dan tulisan); mampu menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT); memiliki jejaring (networking) yang luas; peka terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi di dunia luar, bersikap outward looking, dan lain-lain.

c. Alasan Kegiatan Dilaksanakan

Untuk meningkatkan kemampuan akademiknya, para dosen yunior diwajibkan untuk melanjutkan studinya ke jenjang pascasarjana. Namun demikian, sistem pendidikan pascasarjana di Indonesia belum memberikan peluang bagi dosen untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu program yang akan dapat memberikan kesempatan bagi dosen yunior untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya. Direktorat Ketenagaan DIrektorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang merupakan instansi pembina yang bertanggungjawab dalam meningkatkan kualitas tenaga dosen, baik dari segi akademik maupun profesionalnya.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dosen dengan kualifikasi tersebut sangat jarang dan umumnya hanya terkonsentrasi di beberapa perguruan tinggi tertentu saja, terutama di perguruan tinggi di Pulau Jawa. Selain itu, di Indonesia, dosen yang baru diangkat, pada umumnya adalah lulusan program Strata 1 (S1) yang tentunya sangat minim dalam pengetahuan dan keterampilan, apalagi dalam etos kerja. Untuk menekan disparitas kualitas, baik antara dosen yunior-senior maupun antara perguruan tinggi maju dan sedang berkembang, diperlukan adanya upaya yang nyata. Salah satunya adalah dengan program memagangkan para dosen yunior di bawah bimbingan dosen-dosen senior di perguruan tinggi yang sudah dikategorikan sebagai perguruan tinggi maju.

Program Magang Ditjen Dikti sudah dilaksanakan sejak tahun 2005 dengan hasil yang cukup baik, sebagaimana adanya respons yang sangat positip dari para mantan peserta magang dan para Pimpinan PTN baru tersebut terhadap hasil yang diperoleh dari kegiatan program magang (Buku Evaluasi Program Magang 2005-2007, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Mei 2008). Dengan demikian, untuk Tahun 2009, kegiatan Program Magang sangat penting untuk dilaksanakan kembali karena masih sangat banyak perguruan tinggi dan dosen-dosen yunior yang memerlukan pencerahan dan pengalaman sebagaimana yang dapat diberikan oleh kegiatan Prrogram Magang ini.

II. KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN

a. Uraian Kegiatan

Program magang adalah suatu kegiatan pembinaan yang dikelola secara terpusat dan merupakan suatu program nasional bertujuan untuk meningkatkan kemampuan seorang tenaga akademik dalam melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi yang dikoordinasikan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Pembinaan ini terutama dilaksanakan melalui hubungan yang intensif antara peserta program magang dan tenaga pembinanya di Perguruaan Tinggi Pembina (PT Pembina). Program ini bukan dimaksudkan untuk pencapaian suatu gelar lanjutan, walapun dapat pula dimanfaatkan untuk seleksi dan penjajagan untuk mengikuti program Magister dan Doktor di PT Pembinanya.

b. Batasan Kegiatan

Yang dimaksud dengan kegiatan magang adalah menempatkan dosen yunior dari Perguruan Tinggi Pengirim ke Perguruan Tinggi Pembina untuk mengikuti seluruh kegiatan magang selama 5-6 bulan. Selama ditugaskan sebagai peserta magang, dosen yunior tersebut dibebaskan dari segala tugas dari Perguruan Tinggi asalnya.

Perguruan Tinggi Pengirim

Tugas PT Pengirim adalah menyeleksi dosen yuniornya dan mengajukan pencalonan mereka sebagai calon peserta Program Magang kepada Direktorat Ketenagaan Ditjen Dikti. Dosen Yunior yang terseleksi tetap menerima semua gaji dan tunjangan sebagaimana mestinya, namun dibebaskan dari tugas-tugasnya, karena kegiatan magang diakui sebagai pelaksanaan tugas-tugas tersebut di perguruan tinggi asalnya.

Perguruan Tinggi Pembina

PT Pembina adalah perguruan tinggi yang selain telah memenuhi kriteria yang ditetapkan Ditjen Dikti sebagai PT unggul, menyatakan secara tertulis bersedia menjadi PT Pembina, juga memiliki Program Studi/Jurusan/Departemen yang sesuai dengan Program Studi asal calon peserta Program Magang.



III. MAKSUD, TUJUAN, DAN SASARAN

a. Maksud

Program Magang diselenggarakan dengan maksud untuk meningkatkan kualitas dosen yunior yang ada di PT Pengirim. memberikan kesempatan bagi para dosen yunior dari PT Pengirim untuk menimba pengalaman dalam pelaksanaan kegiatan Tridharma (pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) dari Dosen-Dosen Senior, serta pengelolaan perguruan tinggi yang berlangsung di PT Pembina. Hal ini dilakukan agar kualitas para dosen yunior meningkat.

b. Tujuan

Program Magang Bagi Dosen Yunior bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi para dosen yunior untuk melihat, mengamati, dan mempelajari secara langsung pelaksanakan kegiatan Tridharma (pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) yang dilaksanakan oleh dosen-dosen senior dalam bidangnya di perguruan tinggi yang sudah dianggap maju.
Secara lebih rinci, Program Magang Bagi Dosen Yunior bertujuan untuk:
1. Memperluas wawasan dosen yunior mengenai pelaksanaan dan penyelenggaraan dunia kerja dosen (pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) dengan cara memberi kesempatan untuk mengalami secara langsung pelaksanaan kegiatan Tridharma tersebut di PT Pembina;
2. Memberi kesempatan kepada dosen yunior untuk menjalin networking dengan dosen senior asal PTN besar;

3. Memberikan pengalaman kepada dosen yunior untuk mengenal secara langsung manajemen perguruan tinggi di PTN besar, baik di PTN yang sudah maupun yang belum menjadi Badan Hukum Pendidikan.

c. Sasaran

Sasaran program kegiatan ini adalah para dosen yunior dari berbagai perguruan tinggi, baik PTN maupun PTS yang menurut penilaian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dianggap masih memenuhi kriteria sebagai PT yang patut dibina (belum termasuk kedalam kriteria sebagai PT Pembina).


IV. INDIKATOR LUARAN DAN LUARAN

a. Indikator Luaran (Kualitatif)

Dosen yunior yang menjadi peserta magang, mampu mengembangkan diri sebagai dosen yang lebih profesional dan sebagai manajer atau calon pemimpin di lingkungan perguruan tingginya.

b. Luaran (Kuantatif)

untuk Tahun Anggaran 2009, diproyeksikan sebanyak 75 orang dosen yunior dari berbagai perguruan tinggi Pengirim yang masih berkembang akan memperoleh kesempatan untuk mengikuti Program Magang.

V. CARA PELAKSANAAN

a. Metode Pelaksanaan

Untuk melaksanakan kegiatan Program Magang 2009 ini, tahapan-tahapan pekerjaan dirancang sebagai berikut :

a. Membentuk kepanitiaan kecil yang terdiri atas beberapa pakar yang sudah sejak tahun 2005 membantu Direktorat Ketenagaan Ditjen Dikti dalam pengelolaan Program Magang;

b. Tim ini kemudian menyusun TOR dan Buku Pedoman Pelaksanaan Program Magang, untuk kemudian ditetapkan oleh Dirjen Dikti dan disebarluaskan melalui berbagai media kepada Perguruan Tinggi, baik yang akan mengirimkan peserta magang (PT Pengirim) maupun PT yang akan menerima peserta magang (PT Pembina);

c. Tim ini kemudian akan membantu Direktur Ketenagaan Ditjen Dikti dalam menyeleksi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan para calon peserta Program Magang yang mendaftarkan diri, untuk kemudian ditetapkan sebagai peserta Program Magang oleh Dirjen Dikti melalui Direktur Ketenagaan. Selain kelengkapan dokumen, kriteria seleksi a.l. didasarkan kepada :

• Usia dan golongan kepangkatan serta status kepegawaian calon;

Strata pendidikan calon;

• Pemerataan kesempatan bagi semua PT yang mengirimkan calonnya.


b. Tahapan (Sub) Kegiatan :

1. Persiapan

2. Pengiriman pedoman ke Pertisas dan PT Pembina

3. Batas akhir pengiriman usulan calon peserta ke Ditjen Dikti

4. Penetapan peserta

5. Pengumuman hasil seleksi

6. Pembekalan Dosen Pembina

7. Pelaksanaan

8. Monitoring di PT Pembina

9. Batas akhir penyerahan laporan

10. Evaluasi di Ditjen Dikti



VI. PERGURUAN TINGGI PEMBINA TEMPAT PELAKSANAAN KEGIATAN

Perguruan Tinggi yang menjadi PT Pembina untuk tahun 2009 masih tetap terdiri atas Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Gajah Mada (UGM), dan Universitas Airlangga (Unair) yang merupakan PT Pembina sejak Program Magang tahun 2005. Namun demikian, kesempatan tetap akan ditawarkan kepada PT lain yang dianggap sudah layak menjadi PT Pembina, terutama untuk mengantisipasi adanya Program Studi calon peserta magang yang mungkin tidak terdapat pada PT Pembina yang sudah ada.



VII. PELAKSANA DAN PENANGGUNG JAWAB KEGIATAN

a. Pelaksana Kegiatan

Perguruan Tinggi Pembina

b. Penanggung Jawab Kegiatan

Direktorat Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

c. Penerima Manfaat
1. Dosen peserta Program Magang

2. Perguruan Tinggi Pengirim


*

Sabtu, 03 April 2010

Diklat Jurnalistik STIE Al-Kahiriyah 2010



(Ketua STIE Al-Khairiyah, H. Nursoleh, SE.,MM. saat memberikan cinderamata kepada salah satu narasumber Diklat Jurnalistik, Ahmad Marjuki (wartawan Banten Raya Post).
kegiatan pelatihan dilaksanakan selama dua hari ( 27-28 februari 2010) dengan bekerjasama dengan harian Banten Raya Post. Jumlah peserta yang mengikuti kegiatan ini adalah sebanyak 20 orang peserta dari internal STIE Al-Khairiyah dan utusan Siswa/i se Kota Cilegon. Output dari kegiatan ini diharpakan dapat dibentuk UKM Jurnalistik di Lingkungan STIE Al-Khairiyah,

Pelatihan Jurnalistik tingkat Dasar 2010



( Puket III STIE Al-Khairiyah, Achmad Rozi El Eroy memberikan cinderamata kepada narasumber pelatihan Jurnalistik Muhammad Sofiyan (Wartawan Senior Banten Raya Post)

Senin, 18 Januari 2010

MENCIPTAKAN LINGKUNGAN KERJA


RUSMAN FRENDIKA, SE., MM

Pada perkembangan dunia usaha yang semakin maju dan kompetitif menuntut penyesuaian yang harus dilakukan oleh perusahaan. Penyesuaian yang harus dilakukan pada perusahaan ini antara lain perusahaan diharapkan untuk membuat lingkungan kerja menjadi lebih menyenangkan, agar dalam perusahaan tercipta kerja sama/koordinasi antar karyawan yang baik, sehingga akan terjalin sikap saling memberi dorongan antar karyawan satu dengan karyawan lain yang saling menguntungkan. Kemajuan teknologi yang sangat pesat saat ini harus diimbangi dengan kemampuan sumber daya manusia yang handal, sehingga karyawan dari perusahaan tersebut tidak merasa ketinggalan dengan yang lain dan dapat mengikutinya. Karena sumber daya manusia merupakan salah satu faktor terpenting dalam kemajuan perusahaan, dan merupakan kunci utama keberhasilan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan efisiensi perusahaan.
Hampir seluruh aktivitas perusahaan tergantung pada sumber daya para pekerjanya, karena tenaga kerja memegang peranan yang penting dalam perjalanan proses produksi perusahaan. Untuk faktor tenaga kerja khususnya manusia tetap masih sangat diperlukan sekali baik bagi perusahaan yang padat modal maupun perusahaan yang padat karya, biarpun pada teknologi yang
sangat pesat saat ini fungsi tenaga kerja tidak akan tergeser oleh perkembangan teknologi khususnya di bidang industri. Agar kualitas tersebut dapat lebih ditingkatkan, maka perlu factor-faktor yang dapat mendorong terciptanya kinerja yang baik. Adapun factor-faktor tersebut salah satunya adalah lingkungan kerja. Menciptakan sebuah lingkungan kerja yang baik akan mempengaruhi kinerja dan produktivitas pegawai sehingga kepuasan kerja pegawai dapat terpenuhi. Lingkungan kerja menunjuk pada hal-hal yang berada di sekeliling dan melingkupi kerja pegawai di kantor. Kondisi lingkungan kerja lebih banyak tergantung dan diciptakan oleh pimpinan, sehingga suasana kerja yang tercipta tergantung pada pola yang diciptakan pimpinan. Lingkungan kerja dalam perusahaan, dapat berupa: Struktur tugas, Desain pekerjaan, Pola kepemimpinan. Pola kerjasama, Ketersediaan sarana kerja, dan Imbalan (reward system)
Produktivitas tenaga kerja merupakan perbandingan antara hasil yang didapat tenaga kerja dengan input yang digunakan. Tinggi rendahnya produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh semangat ,faktor kenyamanan, dan kepuasan kerja yang mana hal itu juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan kerja. Ketidaknyamanan saat bekerja merupakan kondisi yang sangat tidak baik bagi tenaga kerja dalam beraktivitas, karena pekerja akan melakukan aktivitasnya yang kurang optimal dan akan menyebabkan lingkungan kerja yang tidak bersemangat dan membosankan, sebaliknya apabila kenyamanan kerja tercipta saat pekerja melakukan aktivitasnya maka pekerja akan melakukan aktivitasnya dengan optimal, dikarenakan kondisi lingkungan pekerjaan yang sangat baik dan mendukung serta akan memberikan kepuasan kerja tersendiri bagi pegawai. Dengan kata lain, apabila lingkungan kerja yang ada baik dan kondusif akan dapat meningkatkan gairah kerja yang positif sehingga dapat mendorong peningkatan produktivitas, kinerja, dan kepuasan kerja pegawai di lingkungan perusahaan.
Lingkup Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja dalam perusahaan, dapat berupa: Struktur tugas
Desain pekerjaan, Pola kepemimpinan, Pola kerjasama, Ketersediaan sarana kerja dan Imbalan (reward system)
Struktur tugas
Struktur tugas menunjuk pada bagaimana pembagian tugas dan wewenang itu dilaksanakan. Sehingga ada kejelasan tentang ’siapa bertanggung jawab apa’ serta keberadaan mekanisme pelaksanaan tugas dalam hal ”siapa bertanggung jawab kepada siapa. Struktur tugas harus jelas, dan mekanisme harus dijalankan. Jika tidak, bukan tidak mungkin seorang karyawan tidak dapat bekerja, jika mereka tidak tahu harus mengerjakan apa. Atau banyak orang yang mengendalikan atau memberi perintah langsung pada seorang karyawan, sehingga karyawan tidak tahu tugas mana yang harus diselesaikan. Akibatnya ia tidak dapat mengerjakan satupun. Untuk itu, sudah menjadi kewajiban manajemen untuk menjamin, bahwa struktur tugas bagi setiap karyawan harus jelas, beserta mekanisme dan herarki pelaksanaan tugas dipatuhi. Dalam pekerjaan karyawan yang berbentuk kelompok, maka susunan dan uraian tugas harus jelas, berikut penjadwalan waktunya.
Desain pekerjaan
Desain pekerjaan menggambarkan kompleksitas dan tingkat kesulitan suatu tugas yang dikerjakan seorang karyawan. Jika seorang karyawan merasa bahwa tugas itu terlampau sulit dan harus melibatkan banyak fihak, maka dipastikan bahwa seorang karyawan akan dapat menyelesaikannya. Sehingga manajemen harus dapat menjamin bahwa tugas yang diberikan, dapat diselesaikan. Untuk mengupayakannya biasanya sebuah tugas disertai petunjuk teknis atau manual pelaksanaan, disamping disediakan kesempatan untuk karyawan berkonsultasi serta dilakukan pemantauan/pengendalian. Hal-hal tersebut memungkinkan karyawan dapat menyelesaikan tugasnya.
Pola Kepemimpinan
Pola Kepemimpinan mencerminkan model kepemimpinan yang diterapkan dalam mengelola karyawan. Ada sekelompok pemimpin menerapkan praktek kepemimpinan yang berorientasi pada penyelesaian tugas (task oriented). Pada golongan pemimpin ini, aspek-aspek individual karyawan kurang mendapat perhatian. Pola ini menekankan, apapun yang dilakukan karyawan dan bagaimanapun kondisi yang terjadi pada karyawan tidak menjadi masalah. Asalkan tugas-tugas dapat diselesaikan. Pola-pola kepemimpiman demikian dapat berpengaruh pada penciptaan lingkungan kerja yang kurang baik bagi karyawan. Akibatnya ada perasaan tertekan pada karyawan. Lingkungan kerja yang tercipta penuh ketakutan mengarah ke frustasi. Jika ini berlangsung lama, maka yang terjadi adalah tingkat absensi karyawan tinggi, permintaan pindah antar unit kerja, bahkan puncaknya adalah permintaan keluar dari perusahaan dan pindah ke perusahaan yang lain. Pada sekelompok pemimpin lainnya menerapkan pola kepemimpinan yang berorientasi pada manusia (human oriented). Pemimpin memusatkan perhatiannya pada kegiatan dan masalah kemanusiaan yang dihadapi, baik bagi dirinya maupun bagi karyawan. Kepemimpinan pada golongan ini lebih populis dibanding pola yang terdahulu, karena dipandang memperhatikan masalah-masalah riil yang dihadapi karyawan. Dari masalah anak sakit sampai dengan kondisi keluarga. Dari masalah stamina sampai dengan nonton bola. Akibatnya, lingkungan kerja dapat mengarah pada budaya gosip, tetapi mengesampingkan penyelesaian tugas dan standar kinerja. Pada pola yang ekstrim, kedua orientasi kepemimpinan di atas tidak ada yang efektif mengelola karyawan. Dengan kemampuan meramu dan menggabungkan keduanya, dalam banyak hal terbukti lebih efektif dalam menciptakan lingkungan kerja yang kondusif bagi peningkatan kinerja karyawan.
Ketersediaan Sarana Kerja
Dalam sebuah perusahaan yang bertujuan meningkatkan kinerja dan produktivitas kerjanya dapat dilakukan dengan menyediakan sarana dan prasarana kerja yang cukup memadai. Sarana kerja yang dapat mendukung suatu pekerjaan tentunya mampu disediakan oleh perusahaan yang menginginkan pola kerja yang produktif. Hal tersebut dengan menyesuaikan sarana kerja yang diperlukan agar pekerjaan yang dilakukan dapat secara efektif dan efisien.
Imbalan
Istilah imbalan digunakan untuk “meng-Indonesia-kan” sebuah istilah compensation yang bersumber dari berbagai macam buku manajemen sumber daya manusia yang merupakan produk impor dari luar negeri khususnya Amerika Serikat. Imbalan atau compensation atau remuneration mempunyai cakupan yang lebih luas dari pada upah atau gaji.
Dari How to profit from merchandise incentives yang dikutip dari majalah incentive menyebutkan bahwa kompensasi adalah apa yang anda berikan kepada karyawan atas pekerjaan yang menjadi tugas mereka. Sebaliknya, pengakuan merayakan upaya yang dilakukan melampaui kewajiban tugas.
Dari uraian tersebut dapat dideskripsikan bahwa kompensasi merupakan pemberian sesuatu baik dalam bentuk barang ataupun jasa lainnya kepada karyawan atas pelaksanaan tugas kewajibannya dan pengakuan atas pencapaian prestasinya dapat diberikan dalam bentuk perayaan atau penghargaan lain apabila karyawan melebihi pelaksanaan tugas kewajibannya.
Ruky menjelaskan bahwa : imbalan mencakup semua pengeluaran yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk pekerja dan diterima atau dinikmati oleh pekerja, baik secara langsung, rutin atau tidak langsung (pada suatu hari nanti). Jadi imbalan dapat diartikan sebagai pembayaran-pembayaran atau biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan bagi karyawan dalam bentuk yang bervariasi untuk diterima dan dinikmati manfaatnya oleh karyawan, baik secara langsung imbalan tersbut diberikan dan dinikmati, secara rutin; mingguan, bulanan atau tahunan dan atau secara tidak langsung dapat dinikmati dan diterima para karyawan pada waktu yang akan dating dalam bentuk uang, barang ataupun jasa.
Pengertian imbalan menurut hasil konvensi International Labor Organization ( ILO ) yaitu upah/gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap tambahan yang dibayarkan langsung atau tidak langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepeda pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja. Kompensasi sering juga diartikan sebagai tunjangan. Tunjangan di perusahaan asing disebut allowance adalah segala pembayaran tambahan oleh perusahaan kepada karyawan berupa tunai dan diberikan secara rutin atau periodik. Fungsi dan tujuannya adalah sebagai suplemen tambahan dari gaji/upah pokok. Dan di Indonesia ditinjau dari aspek statusnya dikenal dua jenis tunjangan yaitu tunjangan tetap dan tunangan tidak tetap.
Yang dimaksud dengan tunjangan tetap adalah suplemen gaji/upah yang diberikan secara rutin dan periodik tanpa dikaitkan dengan persyaratan tertentu, mislanya kehadiran di tempat kerja. Sebaliknya yang dimaksud dengan tunjangan tidak tetap adalah suplemen gaji/upah yang akan diberikan bila karyawan memenuhi syarat tertentu yang biasanya berhubungan dengan kehadiran di tempat kerja. Dan dalam buku-buku manajemen sumber daya manusia, imbalan atau kompensasi dibagi dalam dua kelompok besar yaitu imbalan langsung ( direct compensation ) yang terdiri atas komponen imbalan yang diterima secara langsung, rutin atau periodic oleh pekerja yang meliputi : Upah/Gaji Pokok, Tunjangan tunai sebagai suplemen upah/gaji yang diterima setiap bulan atau setiap minggu, Tunjangan Hari Raya Keagamaan dan gaji ke 13 dan lainnya, Bonus yang dikaitkan atau tidak dikaitkan dengan prestasi kerja atau kinerja perusahaan, Insentif sebagai penghargaan untuk prestasi termasuk komisi bagi tenaga penjualan, Segala jenis pembagian catu ( in natura / in kind ) barang atau jenis lainnya atau bingkisan yang diterima rutin.
Dan imbalan tidak langsung ( indirect compensation ) yang terdiri atas komponen imbalan yang tidak diterima secara rutin atau periodic, yang diterima nanti atau bila terjadi sesuatu pada karyawan. Imbalan tidak langsung dapat meliputi : Fasilitas atau kemudahan seperti transportasi, pemeliharaan kesehatan, Upah/gaji yang tetap diterima oleh karyawan selama cuti dan izin meninggalkan pekerjaan, Bantuan dan santunan untuk musibah, Bantuan biaya pendidikan, Iuran Jaminan Sosial tenaga Kerja (JAMSOSTEK) yang dibayar perusahaan, Iuran Dana Pensiun yang dibayar perusahaan, Premi Asuransi Jiwa dan lain-lain, Penghargaan lainnya.
Agar kebijakan dan system imbalan tang telah ditetapkan tersebut dapat efektif dalam membantu perusahaan mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, maka beberapa syarat yang harus dapat dipenuhi oleh perusahaan adalah sebagai berikut :
1. Adil (fair / equitable ) yaitu penetapan tingkat atau besarnya upah/imbalan harus adil dan fair, harus melihat dari sisi pangkat, jabatan, golongan, tingkat pendidikan dan masa kerja.
2. Atraktif dan Kompetitif yaitu tingkat upah/gaji/imbalan yang ditawarkan harus menarik dan kompetitif dibandingkan dengan perusahaan lain yang sejenis. Untuk mencapai hal ini, maka perusahaan harus melakukan benchmarking (perbandingan) melalui survei pada industri atau perusahaan yang lebih luas.
3. Tepat, Mudah dan Mutahir yaitu kebijakan atau sistem imbalan yang digunakan harus tepat atau cocok untuk perusahaan tersebut ditinjau dari berbagai aspek.
4. Memenuhi ketentuan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yaitu semua kebijakan, sistem dan aturan dalam pengupahan dan imbalan perusahaan harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah yang berlaku.
5. Cukup atau Layak yaitu tingkat imbalan/upah/gaji relatif harus cukup dan layak bagi penerimanya sesuai dengan kemampuan perusahaan.

Keputusan untuk melakukan perbaikan atau peninjauan ulang dan penataan kembali kebijakandan sistem imbalan untuk karyawan perusahaan tentunya harus meneliti dahulu keluhan-keluhan yang timbul dari karyawan. Dan sebelum melakukan perubahan besar atas sistem imbalan yang telah ditetapkan, perusahaan atau manajemen harus mempertimbangkan faktor-faktor kegagalan dalam kebijakan sistem imbalan yang disebabkan oleh :
1. Tujuan program penataan ulang adalah penghematan. Dimana sangat tidak tepat dan berbahaya apabila sebuah perusahaan membuat program penataan ulang kebijakan dan sistem penggajian / imbalan bertujuan untuk penghematan anggaran.
2. Mengumumkan program penataan ulang tetapi tidak ada kelanjutannya. Harus dihindari untuk mengumumkan rencana penataan ulang kepada seluruh jajaran organisasi tetapi kemudian menundanya selama berbulan-bulan tanpa ada kegiatan apa-apa.
3. Menjiplak kebijakan dan sistem imbalan perusahaan lain. Menjiplak kebijakan dan sistem imbalan perusahaan lain sampai sedetail-detailnya adalah tidak tepat, tidak bijaksana dan tidak pernah berhasil dengan baik. Karena tidak pernah ada dua perusahaan yang persis sama dan menghadapi masalah yang sama.
4. Memperlakukan program penataan ulang sebagai proyek rahasia. Seluruh proses perencanaan penataan ulang kebijakan dan sistem imbalan tidak boleh dirahasiakan. Tetapi harus melibatkan banyak karyawan dan wakil organisasi pekerja.
5. Lupakan paradigma lama dalam penggajian atau imbalan. Artinya bahwa banyak usaha untuk mengimplementasikan kebijakan dan sistem imbalan yang didasarkan pada paradigma bahwa : Kenaikan imbalan/upah/gaji akan secara otomatis meningkatkan produktivitas, Tidak ada hubungan langsung antara imbalan dengan prestasi kerja, Imbalan dapat mengubah sikap pekerja, Insentif dan bonus adalah cara paling efektif untuk meningkatkan kinerja.
Dengan menciptakan sebuah lingkungan kerja yang sesuai dengan harapan karywan, maka akan tecipta harmonisasi kerja di dalam perusahaan sehingga produktivitas dan kinerja dapat tercapai.